Secara normatif, Penyelenggara Pemilu ialah lembaga-lembaga yang disebut dalam peraturan-perundang-undangan dibentuk untuk menyelenggarakan Pemilu maupun Pemilihan. Dengan demikian Penyelenggara Pemilu merupakan nahkoda dari Pemilu yang akan menentukan bagaimana dan ke arah mana Pemilu akan berlabuh sesuai asas Pemilu yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan kata lain penyelenggara pemilu dibentuk untuk menyelenggarakan pemilu maupun pemilihan agar tercapainya demokratisasi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Dalam perjalanan Pemilu di Indonesia hingga Tahun 1971 dan Tahun 1977 terdapat ketidaksempurnaan penyelenggaraan Pemilu diantaranya pelaksanaan Pemilu yang tidak sesuai dengan asas-asas dan prinsip demokrasi, maka dibentuklah lembaga yang berfungsi mengawasi proses pelaksanaan pemilu agar nilai-nilai demokrasi tetap utuh. Bertolak dari itulah kemudian bertumbuh dan berkembang sampai saat ini dikenal dengan nama Badan Pengawas Pemilu.
Sesuai nomenklaturnya Pengawas Pemilu maka Bawaslu merupakan suatu lembaga/badan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap tahapan-tahapan pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan agar tujuan dan asas-asas Pemilu maupun Pemilihan dapat terwujud. Menoleh pada sejarah pengawasan pemilu sejak Pengawas Pemilu dibentuk pada Tahun 1982 hingga Tahun 2014, dinamika Pengawasan Pemilupun berjalan seiring perkembangan Demokrasi di Indonesia hingga Pemilu Tahun 2019. Substansi Pengawasan Pemilu yang dilakukan sesungguhnya untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pelaksanaan pemilu yang sesuai dengan asas, prinsip dan tujuan pelaksanaan Pemilu.
Tahapan-tahapan Pemilu maupun Pemilihan akan segera launching dan pengawasan terhadap sejumlah tahapan ini melekat. Dua perhelatan ini membutuhkan tenaga yang cukup ekstra ketimbang pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada Tahun 2017 dan Tahun 2018. Salah satu moment force majeure yang tidak terlupakan dalam sejarah penyelenggaraan Pilkada adalah Pelaksanaan Pilkada Serentak Tahun 2018 di tengah Pandemi Covid-19. Pelaksanaan Pilkada di masa itu penuh keraguan akan ancaman jiwa pemilih maupun penyelenggara pemilihan, namun dengan optimisme Pemerintah dan masyarakat maka Pilkada Serentak Tahun 2018 di tengah Pandemi Covid-19 berjalan dengan sukses dan tingkat penyebaran Covid-19 rendah (situasi Pelaksanaan Pilkada Malaka Tahun 2020).
Meskipun belum ada yang dapat memprediksi secara jelas tentang penyebaran Covid-19 di masa Pemilu maupun Pemilihan serentak Tahun 2024, namun Indonesia pernah berhasil melaksanakan Pilkada Serentak di masa pandemi Covid-19 yang melibatkan pemilih dan penyelenggara pada 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota. Tentunya menjadi optimesme masyarakat pemilih dan pemerintah untuk dilanjutkan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Beberapa hal utama yang harus dilakukan oleh KPU beserta jajarannya adalah evaluasi regulasi teknis pelaksanaan pemilu yang mana dalam regulasi tersebut mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan tahapan pemilu di masa pandemi covid-19 sebagaimana telah dilakukan sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak Tahun 2020. Hal lain yang tak terlupakan dalam penyelenggaraan pemilu 2019 adalah kelelahan penyelenggara pemilu ad hoc yang menimbulkan korban jiwa yang menjadi perhatian dan prihatin publik yang perlu dievaluasi untuk mendapat perbaikan pada Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024. Beberapa masalah yang perlu menjadi perhatian dalam Pengawasan Pemilu maupun Pemilihan serentak Tahun 2024 meliputi :
Pertama, Kapabilitas dan Kapasitas SDM Pengawas Pemilu harus ditingkatkan diberbagai tingkatan dan diberbagai tahapan mengingat dua moment demokrasi yang bersamaan namun menggunakan regulasi yang berbeda-beda. Hal ini menjadi tantangan bagi Pengawas Pemilu karena fungsi pengawasan melekat meliputi pencegahan, pengawasan dan penindakan baik Pemilu maupun Pemilihan. Dari segi kemanusiaan tentu terjadinya kelelahan bagi Pengawas Pemilu namun kondisi ini tidak menjadi alasan untuk tidak melakukan tugas dan fungsi pengawasan. Misalnya pada proses penanganan pelanggaran pada tahapan Pemilu dan Pemilihan yang bersinggungan, Pengawas Pemilu dituntut untuk menyelesaikan pengaduan laporan/temuan dalam waktu yang sama pada pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu DPR, Pemilu DPD, Pemilu DPRD Provinsi, Pemilu DPRD/Kabupaten/Kota dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Karena itu peningkatan kapasitas Pengawas Pemilu diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan terutama dalam manajemen personalia demi terwujudnya Pemilu dan Pemilihan yang domokratis.
Kedua, Persetujuan Pemberian Dana Hibah Pemilihan Kepala Daerah yang masih polimik. Masih basah dalam ingatan tentang Pembahasan Dana Hibah pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2018 yang cukup alot di beberapa daerah di NTT. Karena penyelenggaraan Pilkada merupakan rezim di daerah maka menjadi kewajiban daerah untuk memfasilitasinya berupa penyediaan anggaran yang sangat cukup bagi penyelenggara. Beberapa catatan kendala dalam pengalaman Pengajuan maupun Pembahasan Anggaran Hibah Pilkada Tahun 2018 di Kabupaten Malaka bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) meliputi 1) ketersediaan anggaran penyelenggaran Pilkada yang terbatas, 2) pengurangan volume kegiatan, 3) pengurangan item kegiatan dan, 4) perbedaan pemahaman penggunaan standar pembiayaan. Sejumlah alasan ini menjadi hambatan bagi Penyelenggara Pemilihan dalam mengajukan Anggaran Penyelenggaraan Pilkada, padahal dalam ketentuan Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali Kota Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah secara jelas menegaskan tentang kewajiban Pemda dalam Pendanaan Penyelenggaraan Pilkada bahkan terdapat opsi yang memberikan solusi jika Pemda Kabupaten/Kota mengalami kendala dalam hal kemampuan keuangan daerah tidak cukup untuk mendanai kegiatan pilkada. Beberapa kendala ini perlu dievaluasi pada pelaksanaan Pilkada mendatang, jika perlu butuh regulasi baru yang mengatur tentang Dana Hibah Pilkada bersumber dari APBN sehingga penyelenggara pemilihan hanya fokus saja pada tugas penyelenggaraan pilkada.
Ketiga, Masa Kerja Pengawas Pemilu (Bawaslu Kabupaten/Kota) yang akan berakhir pada bulan Agustus 2023 dimana pada saat itu beberapa tahapan Pemilu maupun Pemilihan memasuki fase pertengahan dan membutuhkan pengawasan yang cukup ketat. Kondisi ini memaksa Pengawas Pemilu untuk melakukan multi tasking meliputi Pengawasan tahapan Pemilu maupun Pemilihan, Mengawasi netralitas pihak-pihak yang dilarang terlibat dalam politik praktis baik Pemilu maupun Pemilihan, Menangani Pelanggaran Pemilu maupun Pemilihan dan Mempersiapkan diri mengikuti seleksi. Apakah multi tasking dimaksud dapat berjalan semuanya? Hal ini membutuhkan perhatian serius dari masyarakat selaku pemilih, Pemerintah dan Partai Politik selaku peserta Pemilu maupun Pemilihan untuk mencarikan solusi demi efektivitas proses pengawasan Pemilu maupun Pemilihan. Jika proses seleksi tetap dilanjutkan sebagaimana ketentuan yang harus diberlakukan maka tantangan berat bagi Tim Seleksi dalam melakukan rekrutmen Pengawas Pemilu periode selanjutnya, terutama Pengawas Pemilu yang akan ditetapkan harus memiliki kapasitas yang cukup (profesional, integritas dan berkompeten) diandalkan dalam Pengawasan, Pencegahan dan Penindakan Pemilu maupun Pemilihan, sebab tidak ada ruang dan waktu yang cukup untuk dilakukan Bimtek Peningkatan Kapasitas Pengawas Pemilu yang baru dalam mengeksekusi tugas pengawasan.
Keempat, Kampanye secara online. Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Definisi ini mengandung makna bahwa terjadinya komunikasi politik antara peserta pemilu dan pemilih baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berbagai metode sesuai ketentuan yang berlaku. Wujud nyata komunikasi politik dimaksud terjelma dalam penyampaiaan ide-ide politis sebagai kebijakan pembangunan kepada konstituen. Penyampaiaan visi-misi kepada Pemilih secara online pernah dilakukan pada Pilkada 2020 namun para pasangan calon jarang melakukan kampanye dalam jaringan internet (meeting virtual). Beberapa kendala dalam kampanye daring adalah jaringan internet belum menjangkau beberapa daerah (area tertentu), minimnya partisipasi pemilih dalam kampanye daring dan keterbatasan kuota internet. Sesuai pengalaman pengawasan Pilkada 2020 (Pilkada di tengah pandemi covid-19) terdapat beberapa kelemahan yang sulit diawasi antara lain : 1) kecenderungan pemilih untuk mengikuti kampanye tatap muka lebih banyak ketimbang kampanye daring yang berdampak pada minimnya ketaatan terhadap protokol covid-19. Hal ini memang sulit diawasi karena kecenderungan pemilih untuk melihat, mendengarkan bahkan merasakan langsung komunikasi politik dimaksud. 2) kecenderungan para kandidat melaksanakan kampanye tanpa surat pemberitahuan dengan alasan jumlah peserta kampanye di bawah ketentuan protokol kesehatan. 3) penyebaran hoax pada media sosial melalui akun-akun yang tidak terdaftar yang mengaitkan materi kampanye kandidat yang berdampak pada berkembangnya polarisasi politik dalam masyarakat. Walaupun kita belum memprediksi secara jelas kondisi dan keadaan kampanye pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024 mendatang namun kita (pemerintah, partai politik, penyelenggara) harus mencari solusi tentang teknis pelaksanaan kampanye yang akan datang.
Kelima, Pemenuhan Hak Pilih yang sulit dideteksi. Hak memilih dan dipilih Warga Negara Indonesia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) acapkali menjadi masalah dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pemilihan. Proses pemilu yang berjalan sejak tahun 1955 hingga tahun 2019 (12 kali pemilu) harusnya menemukan letak persoalan data pemilih yang bermasalah. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah kurang menjamin hak warga Negara Indonesia dalam memenuhi hak politiknya. Pasal 198 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan 2 (dua) persyaratan dalam penggunaan hak memilih yakni pemilih yang memiliki hak pilih terdaftar dalam daftar pemilih dan pemilih yang tidak memiliki hak pilih karena hak pilihnya dicabut oleh Pengadilan. Dalam penerapan teknisnya Pemilih yang memiliki hak memilih dimaksud dibuktikan dengan KTP Elektronik atau Surat Keterangan Domisili, sementara di sisi lain pemenuhan KTP Elektronik atau Surat Keterangan Domisili dimaksud belum tentu dimiliki oleh masyarakat pemilih. Hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggara khususnya Pengawas Pemilu dalam menegakan dan mempertahankan hak pilih masyarak sebagaimana dimanatkan dalam konstitusi. Pemerintah perlu mencari formula yang tepat demi terwujudnya pemenuhan hak memilih masyarakat sebab masyarakat dilahirkan di bumi pertiwi, dibesarkan bahkan meninggal dunia di bumi pertiwi namun tidak bisa menggunakan hak pilihnya hanya karena tidak memiliki KTP Elektronik atau Surat Keterangan Domisili.
Keenam, Ketiadaan Penyelenggara Pemilu Ad hoc. Pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan serentak Tahun 2024 merupakan dua moment yang cukup bermartabat dalam bingkai demokrasi maka terjadi perebutan personel tingkat kecamatan hingga akar rumput antara stakeholder penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. KPU membutuhkan pelaksana penyelenggara tingkat kecamatan hingga TPS (Pemilu dan Pemilihan), Bawaslu membutuhkan Pengawas Ad hoc tingkat kecamatan hingga TPS (Pemilu dan Pemilihan), sementara partai politik selaku peserta pemilu maupun pemilihan membutuhkan Tim Sukses (tim pemenang, tim kampanye dll) yang cukup berlapis untuk kepentingan partai politik. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi proses rekrutmen penyelenggara ad hoc untuk mendapatkan penyelenggara yang cukup berkualitas sesuai ketentuan yang berlaku. Dua catatan yang perlu diperhatikan : a) Jika Penyelenggara Ad Hoc Pemilu dilantik kembali menjadi Penyelenggara Ad Hoc Pemilihan, hal ini dianggap tidak fair karena penyelenggara Ad Hoc merupakan penyelenggara yang dibentuk untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang masa kerjanya terbatas (sesuai tahapannya), tahapan Pemilu selesai maka penyelenggaranya juga selesai, pembentukan penyelenggara Ad Hoc baru untuk Pemilihan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kecemburuan sosial masyarakat terhadap penyelenggara Ad Hoc yang sudah berulang-ulang kali menjadi penyelenggara Ad Hoc, sebab Pemilu dan Pemilihan adalah pestanya demokrasi masyarakat maka masyarakatlah berhak menjadi penyelenggara Ad Hoc secara adil dan merata. Kondisi ini akan menyulitkan Bawaslu maupun KPU untuk memperoleh penyelenggara Ad Hoc. b) Kriteria Pengawas Ad hoc Pemilu maupun Pemilihan sesuai ketentuan yang berlaku yang sulit diperoleh adalah umur dan tingkat pendidikan. Bagaimanapun juga kondisinya nanti, persyaratan umur dan pendidikan seorang Pengawas Ad hoc Pemilu maupun Pemilihan menjadi sangat penting karena beberapa alasan : 1. Seorang Pengawas harus memiliki kompotensi yang cukup dalam bidang pengawasannya (SDM terkait Pemilu maupun Pemilihan), 2. Seorang Pengawas harus memilki emotional intelligence (kedewasaan dalam pengambilan keputusan) yang cukup karena objek pengawasan yang dilakukan adalah orang/kelompok/lembaga. Dua kriteria ini akan menyulitkan Bawaslu dalam memperoleh Pengawas Pemilu sesuai ketentuan yang berlaku
Ketujuh, Kesejahteraan Pengawas Pemilu. Kewenangan Pengawas Pemilu semakin kuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mana dalam pelaksanaan wewenang tersebut Pengawas Pemilu (Bawaslu RI hingga Kab/kota) melakukan fungsi sebagai : 1) Pengawas (mengawasi seluruh tahapan pemilu), 2) Polisi Pemilu (menerima, memeriksa, mengkaji, meminta keterangan atas laporan/temuan pelanggaran pemilu) dan, 3) Hakim Pemilu (produk hukum atas laporan/temuan pelanggaran pemilu). Bawaslu RI melakukan peningkatan kapabilitias maupun kapasitas terhadap Pengawas Pemilu secara berjenjang untuk memperkuat Pengawas Pemilu dalam melaksanakan tugasnya demi terwujudnya prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Secara konkrit masyarakat Indonesia umumnya dapat melihat bahkan merasakan peran Pengawas Pemilu sejak Pemilu Tahun 2019 dan Pilkada Tahun 2020 yang mana pelaksanaan Pilkada pada situasi pandemi covid-19, kondisi ini sama sekali tidak melemahkan fungsi pengawasan dimaksud. Hal ini juga harus menjadi prihatin publik bahwa para pahlawan demokrasi ini sesungguhnya mempertaruhkan nyawa dalam mengejar para pelanggar hanya untuk menegakan demokrasi di NKRI, karena itu pantas dan layak Pengawas Pemilu perlu peningkatan kesejahteraan setara tugas yang diemban Pengawas, Polisi Pemilu dan Hakim Pemilu.
Beberapa permasalahan yang diuraikan di atas menjadi tantangan baru bagi penyelenggara pemilu jika Pemilu dan Pemilihan berjalan sekaligus dalam satu tahun. Kebijakan Pemerintah dan DPR terkait pelaksanaan Pemilu dan Pemilihan serentak Tahun 2024 perlu menjadi perhatian serius semua pihak untuk mendapat masukan sewajarnya demi terwujudnya pelaksanaan pemilu maupun pemilihan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang diharapkan.
Penulis: Nadap Betty (Anggota Bawaslu Kabupaten Malaka)
Penyunting: Fathur