Notification

×

Kisah Pilu Dua Dekade Anak Muda di Pengungsian Eks-Timor Timur

Minggu, 02 Januari 2022 | Januari 02, 2022 WIB

pengungsian_eks_timor_timur
MATALINENEWS.COM- Selama lebih dari dua dekade, warga eks pengungsi Timor Timur hidup dalam keterbatasan tanpa kepastian tentang hak atas tanah yang mereka tinggali. Tanpa kepastian masa depan lebih baik yang dulu mereka impikan saat harus pergi mengungsi.

Arafiq Nuhadi Duru, 21 tahun, siang itu, Senin, (09/08/2021) terlihat mengenakan kaos hitam dan celana jeans pendek. Arafiq adalah teman sekolah saya sejak lama sekali, 2008 lalu. Saat itu kami sama-sama menempuh pendidikan di MTs Negeri Kupang.

Arafiq adalah satu dari kurang lebih 250.000 pengungsi warga Timor Timur yang memilih Indonesia menjadi tanah airnya. Sebelum kini tinggal di Desa Boneana Kupang Barat sejak 1999, Arafiq sudah duluan berada di pengungsian di Noebalki. Bersama keluarganya yang berjumlah 6 orang, dia bersama ayah, ibu, adik ayangnya beserta istri dan kakak perempuannya, Arafiq meninggalkan kampung halamannya di Dili pada tahun 1999, dengan harapan menemukan kehidupan yang baru pasca- berpisahnya Timor Leste dari Indonesia.

Ratusan ribu warga Timor- Timur kini bernama Timor Leste - eksodus ke Indonesia pada saat referendum Timor Timur digelar pada 1999. Mereka adalah warga yang memilih pro-integrasi dengan Indonesia ketimbang merdeka dalam referendum. Mereka tersebar di beberapa kamp pengungsi, seperti yang ada di Noelbaki, Naibonat, Haliwen, Ponu dan Tuapukan.

Tercatat sekitar 250.000 warga Timor Timur mengungsi ke Provinsi Nusa Tenggara Timur pada masa itu. Kini dua puluh satu tahun telah dijalani oleh sebagian besar warga Eks-Timor Timur dalam pengungsian. Hidup dengan keterbatasan dan jauh dari kata sejahtera sebagai warga negara Indonesia. Meninggalkan kampung halaman dan harta benda di tanah kelahiran, membuat mereka harus hidup terlantar di sudut negeri sebagai pengungsi.

Sebagai bagian dari masyarakat yang kala itu, pada tahun 1999, juga harus berpindah dari Lospalos, Timor Leste menuju kota Kupang, membuat saya merasa memiliki kedekatan tersendiri. Mungkin karena apa yang kami lalui kurang lebih sama. Termasuk apa yang Arafiq ceritakan pada saya.

Arafiq bercerita setibanya mereka dari Timor Leste, mereka tinggal di kamp pengungsian bekas pabrik kulit yang ada di Noelbaki. Kamp pengungsian ini cukup besar untuk menampung sebagian besar pengungsi yang datang kala itu. Meskipun harus hidup berdesak-desakan dengan pengungsi lainnya. Selain itu juga dibangun sekat sebagai pemisah, namun kondisi kamp sejatinya tidak layak untuk digunakan sebagai tempat tinggal. Walaupun demikian para pengungsi mau tidak mau, tetap harus menerima kondisi tersebut.

“Kondisinya sulit saat itu. Tidur tak nyaman, makan pun sulit. Kami tak punya apapun kala itu, cuma berharap pada pemerintah daerah,” cerita Arafiq sambil terlihat mengenang tahun-tahun yang sudah berlalu.

Selain Arafiq ada kurang lebih terdapat sekitar 40 sampai 60 KK yang tinggal di kamp pengungsian. Untuk bertahan hidup selama dipengungsian para pengungsi hanya bergantung pada bantuan yang datang. Sedangkan untuk pekerjaan, sebagai pengungsi tidak ada yang dapat mereka lakukan, sebab tidak mungkin untuk bertani karna tidak terdapat lahan yang bisa mereka garap. Bekerja sebagai buruh pun tidak dapat mereka lakukan kala itu, karena kondisi yang memang cukup kacau dan sulit untuk mencari pekerjaan.

Kondisi yang sulit kala itu dengan banyaknya pengungsi yang tinggal di kamp, membuat ia dan keluarga akhirnya memilih untuk pindah ke kamp pengungsian yang ada di Boneana. Hal ini dipilih keluarga dikarenakan telah ada sanak saudara yang telah terlebih dahulu pindah ke sana dengan kondisi kamp yang bisa dikatakan lebih baik dengan yang ada di Noelbaki.

“Kalau saya dan keluarga terus menetap di sana, dengan kondisi kamp yang penuh dengan pengungsi, apalagi dengan bangunan yang sebenarnya tidak layak huni itu, akhirnya saya beserta keluarga sepakat bahwa kami harus pindah,” tuturnya.

Namun ternyata apa yang diharapkan oleh Arafiq beserta keluarga jauh dari kenyataan, perubahan yang mereka inginkan tidak ditemukan di Boneana. Kamp pengunsian yang ada di Boneana berupa rumah yang dibangun menggunakan bebak beratapkan jerami dan ada beberapa yang telah menggunakan seng. Di dalam rumah tersebut terdapat dua atau tiga kepala keluarga yang harus menetap bersama.

Meskipun demikian ada sedikit harapan, sebab di kamp tersebut ada sedikit lahan yang bisa mereka garap, beberapa juga telah berupaya mencari pekerjaan meskipun hanya sebagai buruh bangunan atau menjaga ternak milik beberapa warga. Walaupun dengan kondisi seperti itu, telah ada sedikit perubahan yang dapat mengubah kehidupan mereka sebagai pengungsi. Namun demikian tetap tidak ada kejelasan bagi kehidupan mereka sebagai warga eksodus dari Timor Timur.

Selain Arafiq ada Alawiyah Duru, warga eks Tim- tim yang juga tinggal dan menetap di Boneana. Sudah dua puluh tahun lamanya perempuan berusia 31 tahun ini tinggal di kamp pengungsian bersama kurang lebih 115 kepala keluara. Menurutnya, hingga kini tak ada kejelasan dan perhatian dari pemerintah terkait nasib dan kesejahteraan hidup mereka sebagai warga negara.

Alwiyah bercerita, kebanyakan masyarakat di kamp pengungsian bekerja sebagai buruh kasar di Lasiana, Kupang. Mereka yang dulu terbiasa hidup bertani dan memiliki lahan pertanian sendiri, sejak pindah mengungsi harus bertahan hidup dengan ragam cara.

“Jadi buruh di Lasiana sana, memang jauh tapi mau bagaimana. Begitulah caranya agar masih hidup,”sambungnya.

Selain sulitnya mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup, kondisi pengungsian yang jauh dari kota juga menyulitkan mereka untuk mendapat akses kesehatan. Belum lagi jauhnya jarak sekolah yang dapat diakses. Sekolah terdekat yang dapat diakses oleh anak-anak adalah sejauh 5 km.

“Mereka harus jalan kaki untuk sekolah, naik ke Batakte. Semuanya, dari SD hingga SMA,” sambung Arafiq, yang sedang menyelesaikan semester akhirnya di Universitas Muhammadiyah Kupang.

Kini saat pandemi melanda, anak-anak di kamp cukup sulit mengikuti proses pembelajaran. Hal ini disebabkan sulitnya akses jaringan yang ada di wilayah tersebut. Selain itu secara taraf pendidikan, mayoritas warga di Boneana hanya menempuh pendidikan hingga tingkat SMP atau SMA. Kondisi ekonomi, infrastruktur serta akses yang sulit semakin menyusahkan kondisi kehidupan mereka.

Belum lagi kalau hujan besar melanda, akses jalan keluar akan semakin susah. Warga kesulitan mendatangi puskesmas terdekat yang juga ada di Batakte. Pun urusan administrasi mereka lakukan di Oetmatnunu yang jaraknya 6,4 km dan waktu tempuh 30- 45 menit.

Alawiyah yang sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga, bercerita bahwa ia dan warga di pengungsian sudah tidak bisa hanya menunggu bantuan dari pemerintah untuk mencarikan solusi terhadap kesejahteraan mereka. Mulai dari akses pendidikan, akses kesehatan, administrasi hingga peluang kesejahteraan ekonomi yang semakin terdesak.

“Kami dua puluh tahun sudah hidup di sini dan kondisi kami yah begini-begini saja, susah, bantuan dari pemerintah itu banyak yang datang katanya pendataan tapi sampai sekarang tidak ada,” tuturnya.

Sebagai Pengungsi dapat digambarkan bahwa mereka mengalami kondisi yang cukup sulit. Hal ini diperparah dengan diperlakukannya mereka sebagai masyarakat kelas dua. Bahakan seringkali terjadi konflik, terutama masalah lahan. Konflik ini diakibatkan oleh adanya anggapan bahwa kehadiran pengungsi mengganggu tatanan sosial di wilayah kamp pengungsian. Bahkan seringkali terjadi konflik antara penduduk lokal serta pengungsi yang ada di kamp pengungsian.

Selain persoalan lahan konflik ini juga terjadi akibat persoalan ekonomi. Sebab pada kala itu sebagain masyarakat yang berupaya memenuhi kebutuhan ekonomi bersedia melakukan pekerjaan dengan harga lebih murah dibanding penduduk lokal dan ‘banting harga’ sehingga memengaruhi kondisi ekonomi masyarakat lokal kala itu. Akibatnya, sempat terjadi konflik pada awal tahun 2000 yang terjadi selama hampir seminggu.

Selain itu terdapat ketidakjelasan mengenai status kewarganegaraan mereka, dipersuli dalam melakukan pengurusan administrasi juga mereka alami. Selain itu persoalan kesehatan juga menjadi masalah yang harus mereka hadapi.

Namun kini telah ada sedikit harapan yang mereka rasakan. Ada puskesmas keliling yang secara rutin melakukan pemeriksaan. Untuk pengurusan administrasi telah dapat mereka lakukan meskipun masih cukup sulit dalam mengakses. Secara pendidikan yang memang masih perlu mendapat perhatian lebih. Namun demikian konflik identitas masih sering mereka alami.

Hidup dengan keterbatasan baik secara ekonomi, pendiikan, kesehatan, kondisi infrastruktur dan bahkan terabaikan oleh pemerintah, tidak menjadikan mereka meninggalkan NKRI. “Kami perotes iya, kecewa dan menyesal iya, tetapi kami tetap bagian dari masyarakat Indonesia,” tutur Arafiq malam itu.

Pada tahun 2005 tepatnya pemerintah telah menghapuskan status pengungsi bagi masyarakat Eks-Timor Timur. Akan tetapi langkah itu rupanya tidak membawa dampak atau perubahan yang siknifikan bagi kondisi masyarakat yang masih hidup tanpa kejelasan di kamp pengungsian. Mereka tetap harus menjadi masyarakat yang jauh dari sejahtera dan terasingkan negeri sendiri.

Bagi Arafiq, Alawiyah dan saya tentunya, berharap bahwa pemerintah bisa memberikan perhatian dan benar-benar lebih serius dalam mengatasi serta menyelesaikan persoalan yang dialami oleh warga Eks-Timtim.

“Mungkin keinginan untuk kembali ke kampung halaman akan tetap hadir, dengan kondisi masyarakat Eks-Timtim yang seakan diabaikan, terasingkan dan dilupakan di negeri ini. Akan tetapi semangat serta perjuangan untuk tetap setia dan bertahan juga akan tetap terpatri dalam sanubari setiap individu warga Eks-Timtim. Hanya tinggal kita berupaya untuk mencarikan solusi atau tetap mengabaikan mereka.”

Liputan/produksi ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

Penulis: Dedy S. Lamakluang

Editor: Fathur