Notification

×

Andri Fikri: Tantangan Penyelenggara Pemilu Daerah

Rabu, 03 Agustus 2022 | Agustus 03, 2022 WIB

andri-fikri
Penulis: Andri Fikri
MATALINENEWS.COM-- Pemilu terbesar di dunia adalah pemilu di India. Daftar pemilih pada Pemilu 2019 di India mencapai 830 juta dari 1,2 miliar penduduk. Sebagai negara federal yang mengadopsi bentuk pemerintahan parlementer, pemilu di India memang hanya pemilu legislatif di tingkat federal dan negara bagian yang diselenggarakan dalam 30 hari.  Akan tetapi pemilu terbesar di dunia yang diselenggarakan dalam satu hari adalah pemilu Indonesia.

Indonesia mengadopsi susunan negara kesatuan yang menjamin otonomi seluas-luasnya pada provinsi dan kabupaten/kota, sistem perwakilan politik yang “hampir” bikameral, dan bentuk pemerintahan demokrasi presidensial, maka pemilu yang diselenggarakan tak hanya pemilu legislatif tetapi juga pemilu kepala pemerintahan baik pada tingkat nasional maupun daerah.
Pemilu di Indonesia terdiri atas lima jenis pemilu: pemilu anggota DPR, pemilu perseorangan anggota DPD, pemilu presiden dan wakil presiden, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPRD kabupaten/kota yang diselenggarakan dalam satu hari. Itulah yang disebut pemilu serentak nasional lima kotak suara yang diselenggarakan dalam satu hari.


Tantangan-tantangan penyelenggaraan Pemilu 2024 berkait dengan masalah kapasitas kelembagaan KPU, masalah administrasi tata kelola penyelenggaraan (electoral administering), dan masalah payung hukum regulasi yang dijadikan landasan KPU dalam menginovasi penggunaan sistem teknologi informasi disetiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Kewasapadaan itu wajar jika mengingat kemungkinan  munculnya resistensi peserta pemilu dan calon terhadap sistem informasi partai politik (Sipol), sistem informasi pencalonan (Silon), sistem informasi data pemilih (Sidalih), sistem informasi penghitungan suara (Situng) dan sistem informasi rekapitulasi suara (Sirekap) yang keabsahan legalitasnya diresistensi parpol dan calon pada Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020 lalu. 


Besar harapan jika KPU memang perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) pendukung di tingkat kesekretariatan di semua jenjang kesekretariatan provinsi, kabupaten dan kota, terutama aspek penguasaan keahlian di masing-masing divisi. Staf sekretariat yang merupakan tenaga tetap (organik) harus terus-menerus didorong untuk menjadi praktisi kepemiluan yang profesional sesuai divisinya. Misalnya, staf yang ahli dalam pengolahan data pemilih, hukum dan regulasi pemilu, sosialisasi pemilu kepada masyarakat, ahli dalam penyusunan anggaran dan keuangan pemilu, ahli dalam penguasaan masalah logistik pemilu dan keahlian-keahlian profesionalitas sebagai penyelenggara lainnya, harus mendapat prioritas untuk mendapat tempat berkaier yang memadai.

 

Peningkatan kapasitas pada electoral administering yang meliputi kemampuan managerial komisioner dalam mengimplementasikan UU dan regulasi pemilu secara konsisten ke dalam bentuk kebijakan, perencanaan program anggaran hingga teknis operasionalnya sampai terlaksana pada hari pencoblosan secara bermartabat.


Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024 yang diprediksi sama kompleksnya dengan pemilu 2019, dibutuhkan kepemimpinan komisioner yang berintegritas, komitmen tinggi dan inovatif dalam mengembangkan peluang kebijakan untuk merekrut dan menetapkan penyelenggara di tingkat ad hoc yang kompeten dan paham akan tugasnya sebagai penyelenggara din tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).


Penyelenggara Daerah

Berkaca pada pada tragedi pemilu 2019 silam setidaknya 722 petugas mulai dari KPPS, petugas ketertiban TPS, PPS hingga PPK, salah satunya dipicu karena beban kerja yang berat, sebagai konsekuensi desain pemilu lima kotak. Setelah pemungutan suara, petugas KPPS harus menghitung satu per satu surat suara lima jenis pemilu, kemudian membuat salinan berita acara sertifikat hasil perolehan suara dengan jumlah rangkap yang banyak.


Untuk Pemilu 2019 buktinya sebagai berikut. Pertama, pemilih terdaftar di DPT 192,8 juta.

Kedua, panitia ad hoc terdiri dari 7,3 juta lebih anggota KPPS dan petugas keamanan untuk 813.000 TPS, sebanyak 36.260 anggota PPK (7.252 kecamatan), dan 25,146 anggota PPS (83.820 desa/kelurahan).

Ketiga, Partai Politik Peserta Pemilu (P4) meliputi: (1) kepengurusan tingkat nasional: 16 DPP, (2) kepengurusan tingkat provinsi: 16 x 34 DPD = 544 DPD /DPW, (3) kepengurusan tingkat kabupaten/kota: 16 x (75 persen dari 514 kabupaten/kota)= 16 x 386 = 6.176 DPD/ DPC.

Keempat, calon yang bersaing meliputi: (1) 9.200 calon anggota DPR di 80 dapil (16 P4) x 575 kursi DPR); (2) 136 kursi DPD yang diperebutkan di 34 dapil, (3) dua pasangan capres/cawapres, (4) 35 (paling sedikit) hingga 120 anggota (paling banyak) untuk 34 DPRD provinsi, (5) 20 (paling sedikit) hingga 55 kursi (paling banyak) untuk 514 DPRD kabupaten/kota. Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia di Pemilu 2019 mencapai 245.913. Untuk capres/cawapres dua pasang. Kelima, media, pemantau, peneliti dari lembaga survei, dan peneliti untuk hitung cepat.


Pemilu kali imi juga berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu di daerah. Akses dan infromasi serta masalah meningkarkan partisipasi pemilih menjadi kendala. Hasil pemerintahan dari pemilu 2019 akan menjadi ukuran. Jika prodak pemilu 2019 baik tentu akan menjadi pendorong efektif masyarakat di daerah datang ke TPS, begitupun sebaliknya. Pemilu 2024 secara berangsur menjadi momentum peningkatan pemilih rasional dikarenakan bebas hidup masyarakt yang kian terasa sulit.


Pemilihan di daerah pada Pemilu 2024 mendatang terbilang rumit. Di mana  masih menggunakan lima kotak dan lima surat suara, adalah dengan mekanisme penghitungan suara paralel. Panel pertama menghitung surat suara Pilpres dan DPD, panel kedua menghitung surat suara DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Umumnya masyarakat daerah juga memiliki beban kerja untuk mencukupi kebutuhan. Sehingga penyelenggara harus bekerja ekstra menjaring mereka untuk bertahan di TPS.


Pada aspek pengawasan, perlu dibahas kembali karena pengawas TPS jumlahnya hanya satu orang. Sementara untuk mengurangi beban kerja petugas KPPS dalam menyiapkan salinan berita acara sertifikat hasil perolehan suara, sarana teknologi diperlukan dengan mengganti salinan fisik menjadi salinan digital. Lagi-lagi berbicara digitalisasi, menjadi masalah khusus karena tidak semua masyarakat daerah memiliki literasi digital memadai.


Soal kelemahan pemilu lalu, tingginya surat suara tidak sah, dan lamanya pengumuman hasil pemilu menjadi persoalan tidak mudah. Pada Pemilu 2019, di Jawa Barat saja terdapat 648.065 surat suara tidak sah pilpres, 2.970.984 pemilu DPR, dan 3.659.012 pemilu DPRD provinsi. Pengumuman hasil pemilu yang membutuhkan waktu 34 hari kian menambah suburnya hoaks yang berpotensi memecah belah bangsa.


Berbagai persoalan pada pemilu lalu juga tidak dimungkiri bila dipengaruhi juga dengan pasal-pasal dalam UU Pemilu dan Pilkada yang multitafsir sehingga membuat tahapan penyelenggaraan rentan dipersoalkan. Namun, tentunya kita membutuhkan anggota-anggota KPU yang tidak hanya terjebak berkutat pada permasalahan makro, tetapi juga memiliki strategi inovatif yang bisa segera diterapkan lembaganya dan tentunya menyentuh masalah-masalah mikro tadi. Ini termasuk berbagai hal teknis mendasar, seperti SDM, jaringan teknologi informasi, hingga masalah distribusi ke berbagai daerah pelosok di seluruh negeri.


Penulis: Andri Fikri