Notification

×

Alur Pemberian Belis ( Pae Bele ) Pada Komonitas Orang Kedang Di Kabupaten Lembata

Sabtu, 22 Oktober 2022 | Oktober 22, 2022 WIB
Foto: Penulis/ Sudarjo Abd Hamid

MATALINENEWS.COM--
Lembata adalah gugusan pulau paling timur di nusa Flores, berbatasan langsung dengan pulau Alor, dan kabupaten Flores Timur. Pulau ini dijuluki surga tersebunyi, karena memiliki aset destinasi yang cukup menjadi pemicu kehadiran para wisatawan lokal maupun manca Negara, untuk menjamah eksotik pada beberapa tempat yang lagi viral pada media sosial, sehingga Lembata menjadi tempat alternatif untuk dikunjungi karena pulau ini sangat menyimpan keunggulan alam yang membentang seperti Awalolong, Ilelewotolok, Dapur alam Atadei, air terjun Lodovavo, pantai Hadakewa, Pantai Lewolein serta Pantai Nusantara Desa wowong Omesuri. Tak kalah pentingnya lagi upacara penangkapan ikan Paus di Lamalera yang telah mendunia saat ini. 
Kabupaten ini melepaskan diri dari induk semangnya FLOTIM sejak tahun 1999 silam. Tentunya ada indikator utama oleh para penggagas statemen 7 Maret untuk bagaimana Lembata Mandiri dari aspek pendekatan pelayanan publik, mengurus rumah tangganya sendiri, mengatur segala bentuk kebutuhan masyarakat dari seluruh aspek sandang pangan hingga papan, agar Lemabata mampu berdiri diatas kakinya sendiri, dan terbagi roti pembangunan sesuai amanah UUD 1945. 


Lembata walaupun terbilang pulau kecil, namun merangsang kehadiran para pengunjung untuk hadir diwilayah ini, untuk melihat lebih dekat destinasi yang cukup menggiurkan serta, keberagaman ritual budaya yang menjanjikan lipatan-lipatan PAD, untuk masuk pada kantong ekonomi Lembata demi menunjang kesejahteraan orang banyak yang mendiami pulau Lepan Batan ini. Menjadi sebuah peristiwa yang tak terlupakan bila kita tancapkan telapak kaki pada Bumi Ta’an To’u tersebut.


Keanekaragaman budaya tak kalah pentingnya melalui pergumulan festifal beberapa kali di gelar. Sebuah atraksi yang cukup mahal dan bergengsi, karena seluruh budaya di pamerkan, dipublikasikan sebagai hasil karsa pendahulu yang masih berurat akar hingga saat ini, dari setiap suku yang mendiami pulau Lomblen tersebut. Komonitas Orang Kedang sejak dahulu kala, telah melekat ritual-ritual yang tidak terlepas dari kehidupan sosial, sehingga orang kedang menyebutkan “ Edang Tatong, Lia Namang “ yang bererti  sebuah sebutan alat Musik orang Kedang  yang di mainkan, kemudian Menari  seperti lingkaran gemerlap bintang dilangit. Sangat banyak ritual suku tersebut yang selalu menjadi perhatian publik, sebut saja  prosesi “Tuan Botaq, Maten Kahin” kematian, “ Butil Bubun Bowong Wolar” membangun Rumah, “ Kuriq Paras, Hebu Engar”Sambut baru/khitanan, hingga pada “ Bele Binen Pae Nare “ Menikahkan Saudari, membeliskan saudara. Kesemuanya terus dilaksanakan pada setiap momentum prosesi salah satu tersebut diatas oleh orang Kedang yang mendiami lereng gunung Uyelewun. Cukup menjadi atensi dan konsumsi turun temurun tiap pergantiaan generasi, namun tetap melekat pada setiap sanubari, walaupun orang Kedang merantau jauh dari kempung halamannya. Karena orang kedang tetap terwarisi aroma budaya yang tetap melekat dan tersemat selama hayat dikandung badan.


Orang Kedang  ( Suku Edang ), sebutan untuk silsilah komonitas yang mendiami lingkarang gunung Uyelewun, hampir setiap suku memiliki budaya Menikahkan Saudari dan Membeliskan Saudara “ Bele Binen Pae Nare “ ,atau bahasa lain ( Belis ). Hal ini masih sangat kental dan terus dilakukan, karena berhubungan langsung dengan tambahan anggota keluarga ini, dan pelanjut estafet keturunan setiap marga orang kedang. Pembelisan ini sebuah hal yang tidak bergeser nilainya, dan terus terjaga hingga saat ini, karena pembelisan  sebuah prasarat lumrah, dalam prosesi adat untuk mengalihkan seorang perempuan dalam hal ini status berubah melebur dalam marga Laki-laki yang menjadi suamiya, yang akhirnya kita sebut menjadi “ We’rian Suku Leu “  menggabungkan diri secara patrilineal meninggalkan marganya dan  mengikuti marga sumainya yang telah membelisnya. Contoh suami marga Liliweri dan perempuan marga Napaulung. Setelah menikah dan pembelisan telah dilakukan, maka perempuan tersebut marga lama Napaulung  yang dibawah sejak lahir di tinggalkan, dan memakai marga baru  suaminya Liliweri. Sehingga perempuan tersebut dinamakan  “ We’rian Suku Leu Liliweri”. 


Ada beberapa tahapan/ alur pembelisan orang Kedang dapat diuraikan sebagai berikut : 

1. Pembelisan perempuan Kedang boleh dilakukan sebelum maupun sesudah akad nikah.  Ada sekelompok suku yang menghendaki untuk tanda belis sebelum nikah, dan ada sekelompok suku lainnya menghendaki setelah nikah, tergantung kesepakatan kepala suku pihak perempuan maupun laki-laki.  Sesuai kelonggaran waktu dan keberadaan  belis dari pihak laki-laki. Rata-rata  belis dalam “ Pae Bele “ ( pembelisan ) menggunakan sebutan “ kong / Bala “ ( Gong / Gading ). Namun ada yang menggunakan alternatif lain selain dua benda tersebut diatas adalah uang. Uang boleh menjadi belis, namun pada akhirnya harga uang yang diberi tersebut, akan di hitung sesuai pasaran Gong/Bala yang beredar saat ini. 


2. Apabila  kesepakat waktu pembelisan telah menghampiri  “Adan elu, Dehiq Wo’el”  tentunya delegasi di utus untuk pastikan waktu sesuai kesepakatan, serta kadar belis yang diminta dari pihak perempuan. Biasanya jikalau kemampuan pihak laki-laki menyanggupi waktu dan kadar belis sesuai kesepakatan, maka waktu yang disepakati tetap diselenggarakan pembelisan. Namun apabila kesanggupan puhak laki-laki belum terwujud dalam mendaptkan Gong/Gading, maka utusan tersebut memaklumi pihak perempuan untuk dilakukan penundaan pada waktu yang lain. Inilah perjalanan adat  saling menghargai  diantara sesama dalam memupuk solidaritas manusia di suku Kedang.


3. Kehadiran pihak  laki-laki dalam hal pembelisan, pastinya melalui proses panjang apabila pihak perempuan menginginkan pembelisan menggunakan Gading. Maka benda tersebut harus dicari oleh pihak laki-laki. Kadang belis tersebut mampu memakan waktu bertahun-tahun hingga kesekian turunan. Tanggungan pihak laki-laki apabila mampu membelisin diri sendiri, namun ada alternatif lain yakni diambil dari saudari/bibi yang telah menikah untuk menalangi pembelisan tersebut. Sehingga istilah menikahkan Saudari dan membeliskan saudara“ Binen Reiq Bele, Nare Reiq Pae” Masih tetap terjaga sebagai wujud saling membantu dan gotong royong Klien kedang dalam interaksi sosial kehidupan. 


4. Sebelum fokus pembicaraan oleh tetua adat, apabila telah sampai waktu kesepakatan pembelisan, sebagai rasa hormat yang dilakukan oleh komonitas tersebut “ A Wayaq”  atau sering dikenal dengan makan siri pinang Sebagai tanda dibukanya ritual pembelisan. Ini bertanda proses interaksi  pembelisan boleh dilaksanakan. Setelah “ A wayaq “   maka pemandu “ Belawaeng “  memulai penuturan tujuan kehadiran pihak laki-laki Pada “ Ebang” rumah adat orang Kedang, “ Lipu Mutung Baraq Mapaq” Dipan-dipan terbuat dari bambu, dengan bilahan sebagai alas untuk duduk prosesi setiap persoalan adat. Segala bentuk penyelesaian persoalan maupun urusan adat lainnya, “Ebang” inilah tempat memutuskan segala persoalan.


5. Apabila telah disepakati, maka disilahkan kepada pihak “ Ine Ame”  dalam hal ini penerima belis,untuk memulai pengukuran terhadap Gong/Gading yang dibawah oleh Pihak “Maing Ana’” agar dapat diketahui kadar satuang Gong/Gading tersebut. Unuknya kedua benda tersebut diukur  menggunakan tangan dari jari-jari  kebahu orang dewasa, untuk mengetahui kadar/ isi dari benda tersebut. Hal tersebut untuk mengetahui ukuran ( Lemen ), dalam ritual agung tersebut. Selanjutnya adalah mendengar bunyi dari Gong tersebut, untuk mengetahui kualitas bunyi Gong apakah nyaring atau tidak. Nyaringya bunyi yang didengar  salah satu penunjang besarannya belis. Selanjutnya penyerahan resmi  dari pihak pemberi kepada pihak penerima, yang disaksikan oleh hadirin kedua belah pihak prosesi, dan juga aparat Desa setempat, sebagai saksi secara legalitas pihak pemerintah.


6. Setelah acara penyerahan selesai, maka “ A Wayaq “  untuk menutup acara tersebut dengan berjabatan tangan  sebagai bukti ikrar keikhlasan antara kedua belah pihak. Jikalau persiapan Ine Amen  cukup matang,tentunya kesiapan dalam sajian makan minum bersama, sebagai ikatan dan kekuatan simpulan  dalam pergaulan interaksi sosial dan lain sebagainya.


7. Sekiranya belis bawaan Maing Anaq belum mencapai ketentuan, maka sisanya sisanya akan terus menjadi tanggungan pihak laki-laki, menjadi kewajiban utang-piutang dan tanggungjawab pihak Maing Anaq  sampai tuntas pembayarannya. Sehingga belis orang kedang tidak akan habis hingga kapan pun, sehingga dalam bahasa adat sering disebut dengan istilah “ Kong Bala Rai-rai Beq, Wela mawang Rai-rai Beq”. Bahwa belis tanggungan Anaq Maing namun balasan imbalan dari pihak Ine Ame berupa perlengkapan dapur serta sarung adat pun menjadi wewenang dalam  memberi balasan. 


Demikian penjelasan prosesi pemberian belis orang Kedang ini, semoga menjadi referensi faktual, untuk mengenal dan dikenal kepada Masyarakat umum, sebagai bukti keragaman budaya indonesia dari Sabang sampai Meroke, dan dari Miangas sampai pulau Rote. 


Penulis: Sudarjo Abd Hamid