Notification

×

Upaya-Upaya Kecil Petani Rumput Laut di NTT Merespon Pergub 39/2022

Jumat, 09 Desember 2022 | Desember 09, 2022 WIB

rumput_laut_alor
Dok. Istimewah | Penulis: Atha Nursasi

MATALINENEWS - Memasuki 12 Bulan Pasca Peraturan Gubernur NTT Nomor 39 Tahun 2022 Tentang Komoditas Tata Niaga Perikanan ditetapkan, dampaknya terhadap masyarakat petani rumput laut mulai terasa, terutama di beberapa bulan terakhir. Dampak itu tidak hanya bagi petani, tetapi juga dialami oleh beberapa penimbang lokal. Secara umum, pergub 39/2022 mengatur tata niaga komoditas laut secara keseluruhan, dan hasil olahan rumput laut secara khusus. dalam konteks ini, penetapan harga pasar dan tata kelola ekspor komoditas menjadi ketentuan yang kontroversial. dari aspek harga, Regulasi ini mengatur standar harga dibawah harga pasar yang berlaku. Sementara pada sektor eksportir, pemerintah melarang distributor menjual komoditas rumput laut ke luar wilayah teritorial dan administrasi NTT.


Disamping itu, Pemerintah melalui regulasi tersebut menetapkan tiga perusahaan sebagai pemasok utama komoditas rumput laut ke pasar dunia. Artinya, diluar dari itu, tidak diperbolehkan. Untuk memastikan hal ini berlangsung efektif, pemerintah lantas menyediakan kontrol dengan melibatkan aparat keamanan.


Mula-mula Rumput Laut dianggap komoditas biasa, sekedar menjadi salah satu sumber mata pencaharian sampingan bagi nelayan, Khususnya di Baranusa Kab. ALor. Melalui proses panjang dengan hasil yang menjanjikan, rumput laut kembali menjadi sorotan pemerintah, Kabupaten maupun Provinsi. Berbagai upaya konsolidasi dan koordinasi dilakukan, tidak jarang juga pemerintah mendistribusikan bantuan tali dan bibit untuk menunjang produksi komoditas rumput laut. hal ini terjadi hampir di seluruh daerah kepulauan, salah satunya di Pulau Batang Baranusa, Kabupaten Alor.


Seperti dikisahkan oleh para petani, semenjak hasil produksi rumput laut menjanjikan dan menjadi komoditas unggul di pasar ekspor, kehadiran pemerintah melalui dinas kelautan dan perikanan provinsi begitu intens mengunjungi kawasan budidaya rumput laut di Pulau Batang. Dari sekedar kunjungan, sosialisasi, memberi bantuan bahkan memberi informasi kepada para distributor lokal untuk mengurus administrasi perizinannya. Singkat kisah, aktivitas DKP disana pada akhirnya membuahkan hasil yang mengecewakan. Terbitlah Pergub dengan segala ketentuannya yang merugikan.


Dugaan Penyelewengan.


Polemik ini ternyata tidak hanya sekedar politik kebijakan yang tidak pro petani rumput laut, tetapi ada praktik lain yang mengarah pada dugaan penyelewengan. baik diaspek pelanggaran umum, administrasi hingga soal penyelewengan. hal terakhir ini yang menarik untuk ditelusuri. Secara sederhana, penyelewengan dipahami sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Seseorang yang dalam hal ini diperintahkan oleh aturan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional berdasarkan ketentuan yang berlaku, bertindak sewenang-wenang, melakukan kesalahan dan merugikan pihak lain adalah perbuatan penyelewengan.


Dalam konteks penulisan ini, berdasarkan hasil pemetaan masalah secara cepat oleh penulis secara daring dengan beberapa elemen masyarakat, dari pegiat sosial, penimbang lokal, hingga beberapa petani rumput laut diperoleh informasi adanya dugaan penyelewengan dana retribusi pengiriman komoditas keluar daerah. Hal itu ditandai dengan tarif retribusi yang berubah-ubah. dari Hanya 100 Rupiah per Kg pada 2018-2021, naik menjadi 300 Rupiah pada tahun 2022. Kenaikan ini dilakukan secara sepihak oleh oknum dari dinas terkait tanpa konfirmasi terlebih dahulu ke petani dan penimbang. Selain itu, berdasarkan keterangan beberapa orang, termasuk salah satu penimbang, retribusi tidak disetorkan langsung ke kas daerah sebagai pendapatan asli daerah melainkan melalui beberapa oknum kedinasan. 


Dugaan inipun diperkuat dengan adanya informasi bahwa terdapat permainan dalam ekspor komoditas keluar wilayah dengan melibatkan Aparat keamanan. Lebih lanjut, dalam diskusi tersebut, salah satu penimbang lokal yang menjadi mitra dari salah satu perusahaan yang ditetapkan oleh Pergub memberi keterangan bahwa, untuk setiap pengiriman komoditas keluar bisa dilakukan tetapi harus membayar jasa retribusi sebesar 1.500 per Kg. Anehnya, pemungutan retribusi terus dilakukan tetapi secara pendataan masih bermasalah dan menjadi keluhan pemerintah kabupaten Alor. Pasalnya jumlah ekspor komoditas rumput laut sejauh ini tidak terdata. Pernyataan oleh Bupati Kepada Camat Pantar Barat seperti dikutip salah satu pegiat sosial. Meski telah diklarifikasi, tetapi hal ini menunjukan adanya ketiadaan integrasi pendataan antara kedua pemerintahan daerah, Pemprov NTT dengan Pemkab Alor.


Berdasarkan kisah di atas, problem tata kelola komoditas rumput laut di NTT secara umum, maupun di Baranusa, Kabupaten Alor secara khusus tidak hanya soal cacatnya regulasi beserta orientasinya yang merugikan petani, tetapi menjadi arena perebutan pos-pos keuntungan bagi segelintir kelompok. Mereka tampil dengan gagah, berseragam rapi, tetapi mereka mengakali rakyatnya. Atas nama aturan, mereka menjegal, atas nama aturan mereka memungut keuntungan, dan atas nama aturan mereka berlindung dibaliknya. 


Melawan dengan Bertutur!


Tak ada pilihan kecuali menolak. Meski tidak tegas nan nyaring, tetapi nada “sumbang” itu tersirat dari setiap pernyataan, begitu pula dari ekspresi wajah yang penuh kekecewaan. Dari hasil pembicaraan dengan beberapa petani, bahkan pada satu kesempatan di forum diskusi bersama mereka, mereka menyampaikan keluhan, kekecewaan beserta harapannya. sebut saja Reno (nama semaran) “harapan saya, Pak Gubernur dapat mencabut Pergub itu”. Petani lain Fiki (nama semaran) menyampaikan, “kami bekerja setiap hari untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak kami, lantas Pemerintah Membuat aturan sesuka hatinya dan merugikan kami, apa itu adil”? ada pula yang berujar dengan nada sedikit lantang, “Harga Bahan Bakar (BBM) semakin mahal, kami beli solar untuk pergi ke pulau mengurus rumput laut setiap hari memakan ongkos yang besar, kalau Pergub ini hadir justru membuat harga menurun lalu bagaimana kami bisa menjangkau mahalnya ongkos BBM, apalagi sekarang tidak ada pemasukan karena Penimbang lokal dilarang membeli hasil rumput laut kami, siapa yang menanggung seluruh pembiayaan ini”?

Tak berhenti disitu, keresahan serupa datang dari beberapa penimbang lokal. sebut saja  Rian (Nama Samaran), menurutnya, “persoalan utama dari Pergub adalah menutup akses pasar bebas (pasar ekspor). Bagaimana mungkin kami bisa membeli hasil dari petani kalau aturan melarang kami? bahkan untuk mengirimnya ke Ibu Kota saja dijegal dengan alasan ini itu. Ini sangat merugikan kami. padahal, sejauh ini, aktivitas kami dikenakan retribusi dan kami membayarnya kepada pemerintah, bahkan untuk mengurus Surat Izin Usaha Perdagangan Menengah (SIUP-M) sempat dipersulit. Sekalipun akhirnya diterbitkan, tetapi sampai sekarang saya belum bisa mengekspor hasil rumput laut keluar”!


Kesaksian para petani rumput laut beserta penimbang diatas merupakan suara minor yang valid dan mesti diperjuangkan. Dalam teori sudut pandang, suara korban adalah valid dan memiliki daya dobrak. pasalnya, merekalah yang menyaksikan, mendengarkan dan mengalami secara langsung dampak dari suatu kebijakan. Dalam konteks ini, petani maupun penimbang lokal di Baranusa, Pantar Barat Kabupaten Alor adalah korban kebijakan Gubernur NTT, dan pertanyaan mereka seperti dikisahkan diatas merupakan kebenaran atas fakta-fakta yang sedang mereka alami. Kita boleh saja sangsi, atau ragu, bahkan menganggapnya sebuah pernyataan tidak benar, tetapi seberapa penting meladeni perdebatan atau menjawab keraguan itu jika faktanya mereka sedang terancam oleh sebuah kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang?

Alih-alih sebuah keprihatinan, pertanyaan dan keraguan seperti itu justru mereduksi bahkan mensiplifikasi kebenaran yang semakin membuat mereka tak berdaya. Tuturan para petani dan penimbang lokal tentang beragam dampak dari kehadiran Pergub mesti ditangkap sebagai suara kritis yang memiliki daya dobrak. jika kekuasaan begitu melanggeng, para penguasa semakin sewenang-wenang, memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan sendiri, sementara petani rumput laut “dipaksa” menanggung beban derita ini lantas kita masih meragukan kesaksian mereka? tak ada pilihan kecuali bersaksi bahwa “Pergub telah merugikan kami secara sosial dan ekonomi. Kami Menolak dijajah dan dijarah!”


Bergerak Merebut Keadilan


Mengeluh saja tidak cukup bukan? perubahan itu diperoleh dengan cara berjuang, bergerak bersama, melawan bersama. Kesaksian warga atas problematika kebijakan Komoditas tata niaga perikanan di NTT sudah cukup menjadi dasar konsolidasi dan pengorganisiran menuju perjuangan bermakna. Kerugian yang didera petani rumput laut, penimbang dan masyarakat Baranusa pada umumnya sudah cukup membuat para penguasa merasa diatas segalanya. dan, untuk membongkar dominasi ini, kita mesti membangun kekuatan bersama dengan menjangkau seluruh elemen sosial masyarakat. 


Masyarakat dapat bergotong royong, bergandeng tangan dan saling menguatkan untuk melakukan aksi-aksi ril dengan tuntutan menolak pergub, Pemuda dapat berkonsolidasi dan mengorganisir diri mendesak DPRD dan pemerintah daerah, Mahasiswa bergerak melakukan aksi, membangun opini publik, serta mengajukan tuntutan perubahan mendasar terhadap kebijakan Pemprov NTT yang pro rakyat. Organisasi kerakyatan menempuh jalan lain yang lebih sof seperti lobbying, negosiasi dan upaya-upaya persuasif lain mendorong komitmen gubernur beserta aparatus birokratnya untuk memberi kepastian, akses dan jaminan keamanan serta kelangsungan hidup masyarakat petani rumput laut dimanapun berada, utamanya di Alor. 


Seluruh kekuatan ini jika disatukan, akan memberi daya dobrak kuat yang dapat merobohkan benteng kekuasaan dan kezaliman itu. Mengutip Eko Prasetyo dalam buku “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” bahwa “yakinlah, jika seluruh masyarakat bersatu maka untuk menjatuhkan serta memperbaiki nilai-nilai sosial masyarakat pasti akan terwujud. jumlah penguasa tamak dan egois itu cuman sedikit, jika semua bisa bersatu dan berani melawan pasti kemerdekaan sejati akan terwujud”. Maka petani Rumput Laut, dimanapun di seluruh kepulauan NTT, Bersatulah!


Penulis: Atha Nursasi