Notification

×

Tahapan Tradisi Perkawinan (Ebe Arek Kawin) Komunitas Muslim Pedalaman Kedang di Lembata Nusa Tenggara Timur

Jumat, 15 September 2023 | September 15, 2023 WIB

sudarjo_abd_hamid
Tahapan Tradisi Perkawinan (Ebe Arek Kawin) Komunitas Muslim Pedalaman Kedang di Lembata Nusa Tenggara Timur (Penulis: Sudarjo Abd Hamid)

Lembata - Lembata merupakan sebagian wilayah Nusa Tenggara Timur yang terletak di arah timur pulau Flores yang berbatas langsung dengan laut sawu dan Kabupaten Alor. Kabupaten yang mekar dari induk Kabupaten  Flores Timur ini, secara defacto dan de Jure berdiri dan menyatakan terpisah untuk mengurus diri sendiri, dalam daftar Daerah Otonomi Baru (DOB) tahun 1999 yang lalu. Semasa menjadi bagian dari Flores Timur. Sebutan lain dari Lembata adalah  pulau Lomblen dan salah satu pulau penghasil komoditi terbesar selain pulau Adonara. Lembata sebelum terpisah, merupakan salah satu pulau yang memiliki pendapatan yang cukup baik, karena kuantitas  PNS  yang berurusan dengan birokrasi di Larantuka, serta pedagang yang melakukan transaksi di beberapa pasar di Kota Renha Larantuka  nampak  full penumpang yang menggunakan jasa kapal  kayu penyebrangan Lembata – Larantuka setiap hari.


Luas wilayah Kabupaten Lembata seluas 1.266.39 Km persegi, dengan total jumlah penduduk adalah sebesar 135.930 jiwa, dan jumlah penduduk muslim sekitar 27.05 %, (Sumber Wikipedia 2020). jumlah jiwa muslim Kedang yang meliputi Kecamatan Omesuri berjumlah 8.746 dan jumlah muslim untuk Kecamatan Buyasuri adalah 11.909 jiwa. (Data badan pusat statistic Kabupaten Lembata, sumber Kementrian Agama Kabuapten Lembata 26 Agustus 2016).  Sehingga total keseluruhan untuk wilayah Kedang adalah sekitar 20.656 jumlah jiwa muslim, yang menyebar dua kecamatan baik di wilayah pantai maupun pedalaman dibawah kaki gunung Uyelewun yang merupakan  symbol kekuatan masyarakat Kedang secara keseluruhan, karena menurut orang Kedang,  Uyelewun adalah tempat awal mula di rintisnya peradaban hingga migrasi (Dorong Dopeq ),hingga sebagian ke pantai, dan sebagian lainnya berada di pedalaman sekitar kaki gunung tersebut.


Penduduk Kedang mayoritas berprofesi sebagai petani/bercocok tanam menjadi pekerjaan andalan musiman, adapun kegiatan sampingan seperti nelayan, tukang, penenun,pedagang kecil, hingga tukang pijat, dan  pegawai pun menjadi tambahan dalam menopang kehidupan di tempat ini. Karena pada dasarnya urusan pesta orang Kedang paling berani melaksanakan hajatan secara besar besaran tanpa berpikir efek kerugian serta mubasir dalam melakukan sebuah hajatan social tersebut. Sehingga orang Kedang khususnya pedalaman masih mengalami angkat putus sekolah yang tinggi, serta polemic stanting yang belum bergeser turun.


Orang Kedang memiliki kekerabatan yang cukup unik dan luarbiasa, karena di antara mereka tidak pernah ada keributan, sengketa maupun konflik horizontal lainnya, antar orang muslim maupun orang yang bukan muslim. Karena prinsip dasar orang Kedang adalah walaupun berbeda Keyakinan namun komunitas ini berasal dari satu garis keturunan yang sama yakni Uyelewun. Hal ini terus menjadi dasar pijak setiap generasi, dan terus di wariskan, sehingga harmonisasi kehidupan di sana terjaga hingga hari ini. Kongkritnya  acara hajatan social orang muslim seperti Khitanan, Perkawinan serta Kematian sering di libatkan saudara saudara non muslim karena satu prinsip bahwa klien Kedang adalah (Tein Udeq Dewaq Eaq), memiliki satu nasab keturunan yang tidak boleh di cerai beraikan oleh siapapun.


Ebe Nikah areq Kawin/ Prosesi pernikahan orang Muslim kedang selalu di warnai dengan adat istiadat dengan beberap tahapan, yang hingga hari ini masih menjadi kebiasaan setempat. Karena di anggap sebuah tradisi erat kaitannya dengan perjalanan panjang ke dua mempelai, dalam mengarungi bahtera rumah tangga. 


Pertama; Tahap Perkenalan (Tada Wau Lalang Mato). Tahap awal ini setelah di lalui masa pacaran antara kedua calon. Setelah informasi di dapatkan oleh orang tua terkait masa pacaran tersebut, maka pihak lelaki menyegerakan untuk berkunjung ke kediaman perempuan untuk (loeng Lereng Bitol Hewal),atau menyampaiakn maksud tersebut kepada orangtua perempuan agar mereka mengetahui akan maksud tersebut dengan kata lain (Wihaq Ue Uyung Mal) Peminanagan. Maksud tersebut jelasnya belum secara lansung di sahuti oleh pihak perempuan, namun akan di sampaikan kemudian setelah pihak perempuan menanyakan (Tuan Hun) gadis di maksud, untuk memintai keterangannya terkait kehadiran pihak laki laki tersebut. Dalam waktu tidak terlalu lama, akan di sampaikan kepada pihak laki laki, apakah gadis tersebut mau atau tidak atas perkenalan dalam tahap awal tersebut. Apabila (Tuan Huna), bersedia menerima perkenal tersebut maka, utusan dari pihak perempuan akan bertandang kerumah lelaki menyampaikan maksud tersebut. Sebagai maklumat kedua pihak dengan sendirinya akan menyampaikan masing masing kepala suku terkait (Huraq Ka Aten Haraq) perjodohan kedua insan tersebut, agar masing masing kepala suku melihat waktu untuk persiapan selanjutnya.


Kedua; Tahap Bicara Belis  (Uang Bele Keq Pae) apabila tahap ini di lakukan jelasnya (Tuan Huna) Gadis tersebut telah ikhlas untuk menjadi isteri calon lelaki tersebut. Maka di tahap ini para tetua adat akan membicarakan belis (Gong/Gading) yang bakal di berikan oleh pihak lelaki, kondisi ini tergantung kesepakatan bersama. Namun apabila si gadis tersebut memiliki status sosialnya  yang tinggi, maka tentunya  pihak perempuan akan meminta kepada pihak lelaki belis yang akan di berikan adalah gading. Hal ini tergantung pada kondisi keberadaan anak gadis tersebut. Usai berbicara belis, kadang di bicarakan juga secara langsung waktu pernikahan, tekhnik pelaksanaan, tempat kegiatan, di satukan dalam pertemuan adat tersebut, apabila belis yang dibicarakan tidak bertele tele, dalam hal ini pihak lelaki menerima secara ikhlas tawaran yang di ajukan oleh pihak perempuan.


Dalam pertemuan tersebut, akan ada kesepakatan waktu, untuk memenuhi permintaan pembayaran belis oleh perempuan kepada pihak laki laki. Biasanya seratus hari setalah pernikahan/ enam bulan mendatangn atau usai pernikahan pihak (Ine Ame) pulang sekalian membawa belis, hal ini tergantung kesepakatan bersama. Tahap pembayaran belis orang Kedang pada umumnya di lakukan bertahap/cicil tidak sekaligus. Karena orang Kedang paham betul bahwa belis akan tetap melekat sampai kapan pun, apalagi secara silsilah keturunan ada kawin mawin berlapis di antara ke dua keluarga.


Apabila telah sampai waktu kesepakatan belum ada belis untuk di berikan kepada pihak perempuan, maka harus ada delegasi khusus untuk menyampaikan hal tersebut, karena apabila itu di lalai dan tidak ada penyampaian, maka akan di tetapkan denda secara sepihak tanpa kompromi terlebih dahulu. Sehingga saling menghargai dan menghormati sangat di junjung tinggi orang Kedang. 


Ketiga; Tahap Pesta Pernikahan (Hoeq hayaq Ebe Nikah Areq Kawin), tahap puncak ini sering di sebut dengan  atau pesta pernikahan atau perkewinan. Kebanyakan orang Kedang yang mendiami wilayah pedalaman prosesi perkawinan ini sering terjadi di kediaman mempelai laki laki. Apabila hal tersebut di sepakati maka satu hari sebelum puncak kegiatan, gadis/calon mempelai perempuan akan di jemput orangtua pihak laki laki sekitar pukul 02 dini hari, menuju tempat  di lakukan prosesi akad nikah, gadis tersebut di antar bersama (Labur Kelung) Baju Ganti satu koper serta (Deseq Telu) Makanan baik yang masih mentah maupun yang telah di masak, dengan tujuan agar gadis tersebut boleh menerima rombongan pihak perempuan lainnya, terutama orang tua di pintu masuk rumah mempelai laki laki, untuk di suguhi (Ue Mal Bako Nolor) siri pinang dan tembakau, sebagai wujud penghormatan kepada pihak (Ine Ame) Pihak Perempuan dari (Anaq Maing) Pihak Lelaki. Rombongan pihak perempuan akan berbaris rapi menuju tempat pernikahan membawa seluruh perlengkpan perempuan berupa perlengkapan dapur, pakaian tambahan, sarung adat, tempat tidur, kursi, makanan mentah, ikan kering, bumbu dapur dan seekor kambing jantan. Makanan mentah berupa (Anen) beras, (Hengan) jagung titi, (Watar Teler) jagung giling, yang telah di kemas masing masing (Hoaq)/sokal ataupun (Deseq) wadah anyaman daun lontar berbentuk bulat dan memiliki tutupan. Semua barang bawaan dari pihak perempuan tersebut di simpan di sebuah tempat khusus yang bukan di bawah tanah, minimal di atas (Lipu) tempat tidur, karena hal tersebut bagi orang Kedang adalah sebuah penghormatan kepada perempuan yang memiliki status yang tinggi, yang tidak boleh dianggap rendah oleh siapapun.


Setelah  di pastikan semua pihak perempuan telah duduk dan berada  di bawah tenda/ tempat yang telah di siapkan, selanjutnya adalah suguhan (Ue Mal, Bako Oro) siri pinang dan tembakau  oleh kedua mempelai kepada (Rian Meker A’e Ame) Kepala Suku, yang kemudian secara menyeluruh, di berikan kepada pihak perempuan secara serentak oleh petugas yang telah ditunjuk  tugaskan dalam acara tersebut.


Usai makan siri pinang dan isap tembakau, selanjutnya acara prosesi yang akan  di limpahkan kepada pihak penghulu petugas Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat. Kemudian di lanjutkan baca doa untuk  menikmati hidangan oleh pihak laki laki, dan jabatan tangan. Hal ini akan di lakukan oleh kedua pasangan suami istri keliling dari depan pelaminan hingga ke dapur, untuk melakukan jabatan tangan. Jabatan tangan ini di lakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan memohon doa  kepada seluruh hadirin kepada mereka berdua. Menurut sebagian orang kedang bahwa keliling jabatan tangan ini lebih afdhol, karena akan tersampai kesemuanya hingga petugas masak di dapur.


Keempat; Tahap Mandi Air Pengantin, (Hebu Wei Nikah). Setelah tiga hari atau seminggu setelah pernikahan, ada sebuah tradisi yang di lakukan kebanyakan orang Kedang Pedalaman adalah (Hebu Wei Nikah)/ Mandi air nikah oleh kedua mempelai. Hal ini orangtua dari perempuan akan di sampaikan sebelumnya terkait waktu pelaksanaannya, sehingga keterlibatan kedua orang tua dan beberapa tetangga dalam prosesi tersebut harus hadir bersama untuk bersama menyaksikan tahap akhir tersebut.


Mandi air pengantin (Hebu Wei Nikah) tidak di lakukan oleh sembarang orang namun di lakukan oleh saudari ayah dari pengantin laku laki. Di dalam melaksanakan hjatan adat ini, seluruh pakaian basah yang di kenakan kedua mempelai terebut, akan di ambil oleh saudari ayah dari pengantin laki laki itu, termasuk gelang, anting maupun cincin yang di kenakan. Sementara saat ini hampir tidak ada perhiasan yang di kenakan saat mandi oleh kedua pengantin tersebut, tentunya kedua pasangan sudah copot segala perhiasan yang di kenakan, mungkin saja takut diambil oleh saudari ayah yang bertugas memandikan tersebut. Usai dari kegiatan tersebut, selanjutnya di lakukan baca doa bersama dan makan bersama. 


Usai kegiatan akhir tersebut, maka berakhirlah seluruh rangkaian kegiatan terkait proses awal hingga akhir hajatan pernikahan. Sehingga menjadi catatan penting bahwa, hubungan kedua bela pihak menjadi satu kesatuan yang tidak bisa di pisahkan. Apapun urusan yang ada pada pihak laki laki ataupun pihak perempuan, menjadi sebuah keharusan dan tanggungjawab  untuk saling melengkapi di antaranya.


Bionarasi: 

Sudarjo Abd. Hamid, lahir di Lembata Nusa Tenggara Timur 18 April 1982, adalah seorang Jurnalis media matalinenews yang juga sebagai guru ASN yang  mengasuh Mapel Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Dasar Negeri Leuwalang Kecamatan Omesuri Lembata Nusa Tenggara Timur. 


Selain bertugas sebagai guru ia  juga seorang penulis. Karya tulisnya seperti buku Antologi Goresan Syair Dari Negeri Ikan Paus Ber ISBN 2021 penerbit YUUK Press Solo Jawa Tengah.  Dan beberapa buku kolaborasi beberapa penulis seperti  buku  . Penulis Buku Kerinduan Untuk Mu Ibu dalam Judul“ Kerinduan Tak Berujung” 2022 ber ISBN 978-623-356-684-1 oleh penerbit Intishar publishing. Guru Yang Di Rindukan dalam judul “ Potret Sang Guru Di Pelosok Negeri” terbitan tahun 2023 berISBN 978-623-88369-6-3 oleh Akalanka Pubhliser, selain beberapa buku di atas ia sering menulis beberapa artikel, puisi dan juga cerpen di beberapa media online.


Ia juga merupakan anggota aktif pada kumpulan penulis netra Pena, serta angota aktif  pada Penulis Motifator Nasional Nusa Tenggara Timur dan juga Penulis Motifator Nasional Lembata.